Wednesday, March 19, 2008

“Gresek” di Negeri Sakura


Cerita yang mau saya ceritakan sebenarnya sudah out of date kalau dilihat dari waktu kejadiannya. Tapi bagi saya ini merupakan sepenggal cerita kehidupan yang tak terlupakan. Cerita ini tentang jadi “gresek di negri sakura”. Saya sudah meninggalkan Jepang 3 tahun yang lalu. Tapi saat-saat awal kaki menjejakkan kaki di negri matahari terbit itu rasanya baru saja. Selain terkesan dengan kebersihan dan keindahan Jepang, apalagi waktu datang bulan April di saat sakura mulai berkembang, juga teringat adanya kompetisi “gresek” atau memulung barang buangan. Tahun 2000, di Tokyo masih bisa dijumpai barang-barang elektronik yang dibuang dipinggir jalan, baik karena pemiliknya bosan atau rusak. Di pagi hari dari asrama waktu berangkat ke sekolah bahasa, bisanya saya dan teman2 lirak-lirik ke kanan dan ke kiri siapa tahu ada barang yang masih layak pungut. Di suatu pagi pandangan tertuju pada sebuah vacum cleaner di dekat tempat sampah. Tempat sampahnya nggak bau dan tampak bersih lho..sebab semua sampah kan dalam plastik. Waktu sudah pindah ke Sendai sebelum balik ke Indonesia, saya sempatkan memotrek tempat sampah, untuk bahan cerita betapa bersihnya tempat sampah di Jepang, seperti bisa untuk duduk-duduk ngrumpi dan main catur tuh tempat sampah, macam pos kamling di Indonesia. Kembali kepada cerita memulung tadi, vacum cleaner tadi saya simpan di tempat shalat lantai atas (sekolah bahasa menyediakan tempat sholat untuk pelajar muslim), sorenya dibawa pulang dan lega.. ternyata masih berfungsi dengan baik. Soalnya pernah bertiga nggotong kulkas ternyata sudah nggak bisa dingin. Dan vacum cleaner itu juga yang saya pakai selama 3 tahun di Jepang, sampai berpindah ke Sendai, sekitar 350 KM dari Tokyo ke arah timur laut, dan akhirnya diwariskan kepada kawan waktu saya pulang ke tanah air. Ini salah satu cerita saja.

Kamis pagi stelah shubuh, waktu itu, kesempatan bagus, sebab hari pembuangan barang elektronik. Setelah shubuh berjamaah dengan teman-teman seasrama, kadang-kadang meyempatkan jalan pagi, selain udara segar juga mendapat rejeki seperti tape yang bisa untuk Kaset, CD dan radio, juga TV serta rice cooker yang semuanya masih ok. Tape saya yang saya berikan kepada kawan, ternyata tak lama kemudian sudah dipulangkan ke Indonesia. Suatu kebanggaan bila menemukan barang mahal dan masih berfungsi. Semacam kompetisi tak resmi..Jangan lupa orang-orang dari Cina pesaing berat kita dalam gresek ini..seperti pertandingan badminton aja..Malu campur lucu campur gimana gitu kalau ingat. Suatu hari seorang kawan ada yang berbalik pulang sebelum naik kereta api jurusan Ike Bukuro menuju ke sekolah bahasa, demi menggotong sebuah microwave yang ditemukannya kembali ke kamar, yang kemudian bisa digunakan selama 3 tahun. Namun ada cerita “sedih” atas kebiasaan gresek ini. Ada yang tersalah mengambil TV bekas yang sebenarnya dijual, dikira dibuang sebab diletakkan di luar toko. Yang unik banyak barang di buang tapi masih ada juga yang jual barang bekas.

Pembuangan barang secara gratis kalau nggak salah berakhir tahun 2001. ketika itu saya sudah di Universitas di Sendai, bukan lagi sekolah bahasa. Saat hari terakhir membuang barang secara gratis, sepanjang jalan dari kampus menuju asrama banyak sekali barang-barang yang sebenarnya bisa diambil, tapi saya nggak mau ngambil sebab tak punya tempat menyimpan. Ada juga piano teronggok di tepi jalan tanpa ada yang tertarik, sampi diangkut petugas pengangkut sampah. Suatu hal yang mustahil di Indonesia..Setelah itu tak ditemukan barang berharga lagi di pinggir jalan, sebab kalau mau membuang si empunya barang harus telpon petugas dan membayar sesuai jenis barangnya. Dan yang paling “mendokusai” atau “njelehi” atau repot kalau mau buang kulkas rusak, bayarnya 6000 yen (450 rb rupiah)-nggak tahu berapa sekarang. Padahal kalau di Indonesia pasti bisa diperbaiki dan digunakan. Waktu mau balik Indonesia terpaksa menyediakan dana untuk pembuangan barang-barang. Aneh ya.. tapi inilah warna-warni cerita kehidupan.

Kenapa orang Jepang membuang barang yang masih bisa digunakan, karena katanya mereka tak tega memberikannya kepada orang lain, takut dianggap menghina. Ini kata prof saya yang orang Atlanta yang menikah dengan orang Jepang. Katanya di Amerika nggak ada macam itu. Apa sama sekali nggak ada ya di sana? Ini cerita beberapa tahun lalu, sekarang pemulung-pemulung intelektual ini masih bisa berjalan apa tidak, tidak tahu.

No comments: